Terlalu Banyak Belajar Kecewa

Di daerah yang saya tinggali sekarang merupakan daerah pertambangan batu baradan minyak bumi, banyak sekali masyarakatnya yang berprofesi sebagai karyawan perusahaan. Biaya hidup pun juga sangat jauh berbeda dari Jawa dan gaya hidup di sini jauh lebih mewah, hampir di setiap rumah mempunyai mobil yang tergolong seri mobil mewah yang parkir di rumah mereka. Sungguh sangat bersyukurnya masyarakat di sini dikaruniai wilayah yang subur dan menyimpan kekayaan alam yang banyak, sampai-sampai banyak lulusan sarjana dari Jawa yang mencari kerja di sini. Namun ternyata tidak semua orang bisa menikmati kekayaan alam ini dan ikut serta menjadi karyawan di salah satu perusahaan yang ada. Pada saat hari libur, biasanya saya manfaatkan untuk jalan-jalan atau mengantar istri ke pasar. Saat itu saya melihat ada seorang tunawisma yang sedang meminta sedekah dengan membawa anaknya yang masih kecil. Sejenak tersirat di benak, ternyata di daerah kaya seperti ini masih ada orang yang kekurangan. Diantara beberapa kalangan yang mempunyai mobil mewah, masih ada yang berprofesi sebagai pengemis. Disamping itu pada saat saya mencuci motor, saya sempatkan mengobrol dengan pencucinya sembari menunggu motor selesai dicuci. Si tukang cuci motor merupakan lulusan STM, saya tanya kepada dia “mas, kenapa gak nyoba daftar kerja disalah satu perusahaan yang ada di sini?”. Dia menjawab “sudah mas, tapi gak dipanggil panggil, gak tau mas mungkin bukan rejeki saya. Padahal saya gak milih mas, mau jadi helper juga tidak apa-apa”. Saya langsung terdiam sejenak sambil menahan sedih, dan berfikir alangkah sangat beruntungnya orang-orang yang bisa bekerja di perusahaan karena ternyata diluar sini banyak orang yang berharap bisa diterima kerja namun tidak ada kesempatan. Apakah kita sudah bersyukur tentang pekerjaan yang diberi Tuhan kepada kita? Kenapa masih ada orang-orang yang bermalas-malasan menerima pekerjaan, tidak mau mengikuti aturan yang berlaku di perusahaan, padahal masih banyak orang-orang diluar sana yang mungkin saja lebih produktif berharap bisa jadi karyawan namun tidak bisa. Lebih banyak keluh kesahnya dari pada hasil karyanya, dari 8 jam kerja (jam kerja minimal) mungkin yang efektif hanya 1 jam karena dipotong datang terlambat, ngobrol dengan rekan kerja lain membahas bukan tentang pekerjaan, baca koran, buka internet, merokok, duduk-duduk santai, dan lain-lain. Dan 1 jam itupun digunakan kerja dengan banyak kata keluhan “aduh...; ah....; pusing ah.....” dan muka musam. Namun jika kenaikan gaji tidak signifikan sesuai harapan akan banyak protes atau bahkan demo. Mereka sering berkata "perusahaan ini seharusnya disiplin, tegas, dan ini itu yang baik-baik" yang menurut mereka baik bagi karyawan. Namun jika kita telaah, bahwa baik buruknya perusahaan tergantung dari karyawannya. Jika mereka sendiri tidak bersedia mengikuti aturan yang berlaku, bagaimana keadaan yang diharapkan bisa tercipta. Mengapa tidak melihat kondisi orang-orang di sekitar kita, masih banyak yang kekurangan dan ingin kerja di perusahaan namun tidak bisa, namun kita yang sudah bekerja tidak mengeluarkan kemampuan kita secara keseluruhan, cenderung banyak mengeluh dan bermalas-malasan jika pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Memang benar bahwa “Kekecewaan itu jauh lebih mudah dipejari dari pada rasa bersyukur”. Kita selalu kecewa dengan hal hal yang tidak sesuai keinginan kita, namun kita tidak pernah bersyukur tentang apa yang ada pada kita.
 
Salam
Darmawan Saputra

Post a Comment for "Terlalu Banyak Belajar Kecewa"